Lombok Timur, suararinjani.com – Dari data Aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) , Dinas Kesehatan Kabupaten Lotim mencatat dari tahun 2018 – 2022 ada angka prevalensi stunting yang terjadi penurunan yang signifikan disetiap tahunnya.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Lombok Timur, Dr. H. Pathurrahman kepada sejumlah Wartawan di Lesehan Asri – Sekarteja Kecamatan Selong belum lama ini. “Yang menarik adalah trend stunting di Lombok Timur, buktinya banyak sekali Kabupaten lain belajar resep menurunkan stunting saya jawab konvergensi”, ungkapnya
Kolaborasi dan sinergitas semua pihak dari Pimpinan daerah, OPD terkait, lembaga pemerhati hingga Kepala Desa dan Kelurahan menjadi hal yang utama dalam mencegah Stunting. “Stunting di setiap negara ada, tetapi setiap negara berusaha menekan agar tidak terjadi lonjakan,” katanya.
Kadikes juga menjelaskan arti stunting sebagai kasus panjang badan balita yang tidak sesuai umur. Stunting disebabkan kurang gizi kronis dan penyakit yang dialami sejak dalam kandungan, yakni mulai dari 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Disebut 1.000 HPK ini mulai sejak hamil sampai dengan anak berusia dua tahun.
Dia menambahkan cara mudah mengetahui stunting anak adalah apabila hasil pemantauan berat badan baduta selama posyandu turun terus menurun. Maka itu calon stunting dimana biasanya stunting pada anak dimulai dari kurus dulu.
“Disarankan, kalau mau bikin anak tak stunting, sasarannya adalah ibu hamil. Lebih spesifik lagi saat anak usia emas”, pintanya.
Saat ini tambah dia Stunting menjadi perhatian serius Pemerintah dari Pusat hingga daerah dikarenakan memiliki dampak yang cukup besar. Dampak stunting sering menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadi kesakitan dan kematian. Perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan motorik terhambat dan terhambatnya pertumbuhan mental anak.
Masih kata Dr.H. Pathurrahman, orang yang boleh dikatakan stunting adalah mereka yang kurang gizi dan penyakit artinya tidak semua orang pendek tersebut boleh dikatakan stunting.
“Banyak yang saya temukan anaknya pintar juara kelas tapi karena dia pendek dibilang stunting, itu salah” tegasnya.
Menurutnya, anak yang masuk kategori stunting adalah mereka yang gagal kembang, gagal tumbuh dan gagal metabolism atau anak yang tidak bisa mengolah makanan saat dia dalam kandungan. Ciri lainya adalah yang berat badannya menglami penurunan dari semenjak pertama di Posyandu. Artinya setiap kali di Posyandu, anak tersebut selama usia emas atau 2 tahun beratnya tidak pernah naik.
“1000 HPK itu adalah Golden Periode jadi ibu hamil dan balita hingga usia 2 Tahun harus benar benar di perhatikan. Jika bisa dilakukan maka Stunting itu tidak akan terjadi pada anak”terangnya.
Dari temuan beberapa ahli tambah dia dampak Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya resiko kesakitan atau morbiditas dan kematian atau mortalitas.
Ditegaskannya Konvergensi lagi – lagi menjadi hal mendasar yang menurutnya harus di laksanakan semua pihak guna meminimalisir angka stunting di Lombok Timur.
Tahun 2013-2018 berdasarkan Riskesdas dari 43,8 persen menjadi 43,5 persen. Tren kasus stunting berdasarkan Riskesdas ini kata Kadikes, cukup lamban. Sementara berdasarkan Data ePPGM terus terjadi tren penurunan sejak tahun 2018-2022.
Tahun 2018 jumlah anak stunting mencapai 18.497 dari 69.925 orang diukur atau 26,45 persen. Tahun 2019, 80.313 diukur 26,11 persen atau 20.968 anak stunting.
Tahun 2020, 106.879 diukur mengalami stunting sebanyak 22.382 orang atau 21,07 persen. 2021, dari 117.241 diukur anak yang mengalami stunting sebanyak 22.080. data terakhir tahun 2022 pertanggal 24 Oktober 123.104 anak yang mengalami stunting sebanyak 20.960 atau 17,03 persen.
Diakuinya, kepedulian terhadap stunting dari semua desa masih kurang karena pemahaman masyarakat akan stunting masih kurang. Berdasarkan hasil pennelitian, pengetahuan kita akan konsumsi gizi beragam yang belum diterapkan dalam setiap rumah tangga.
“Gizi itu tidak mahal tinggal dan tidak mahal hanya mindset masyarakat yang harus dirubah” tutupnya. (Yat)